Minggu, 10 Agustus 2008

TEORI POLITIK ROBBANIYAH

TEORI POLITIK ROBBANIAH UNTUK CALON GUBERNUR

oleh:
Abu Muhammad Azzam Taqiuddin
(AMAT)

Solusi politik bagi masalah ekonomi, sosial, budaya, keamanan,ketertiban, pertahanan, dan ideologis rakyat Jawa Barat sebagai bagian dari bangsa Indonesia adalah pergantian gubernur. Dalam kasus ini jatah Gubernur Nuriana untuk berkuasa sudah habis yakni selama dua periode: 1992-1997 dan 1998-2003. Maka bagaimanapun masalahnya, solusi politik berupa pergantian gubernur bisa dipastikan terjadi, jika tidak ada sesuatu yg sangat luar biasa, yg di luar perhitungan kita semua. Namun jika kehidupan ipoleksosbudhankam di Jawa Barat baik-baik saja, tidak ada masalah yg menonjol, maka pergantian gubernur tidak perlu dipersepsi sebagai suatu solusi politik. Ia hanya merupakan suksesi kepemimpinan yg normal yg akan melanjutkan tugas-tugas gubernur sebelumnya. Walaupun dalam proses pemilihannya sangat boleh jadi terjadi suasana yg "panas" karena persaingan para calon yg begitu seru.

Kenyataannya, kita di Jawa Barat saat ini sedang dirundung masalah kehidupan yg cukup berat dan parah. Masalah ekonomi, kita sedang krisis daya beli karena naiknya harga-harga, ketergantungan pada hutang luar negeri, pengangguran yg meluas, kemiskinan di mana-mana yg kontras dengan kemewahan segelintir dari antara kita, dijualnya aset Badan Usaha Milik Negara, dibebaskannya para konglomerat hitam, dan masih banyak lagi daftar masalah lainnya. Sedangkan di sektor budaya, masalahnya adalah budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme(negatif), akulturasi budaya asing lewat media hiburan, terancam punahnya bahasa dan tata krama daerah, dan pergaulan bebas pria-wanita yg gaya berpakaiannya seperti tidak berpakaian karena justru pamer aurat, dsb.dst. Di bidang Sosial, kita menyaksikan semakin banyaknya anak jalanan, pecandu narkoba, maraknya perjudian dan tempat maksiat yg laku dikunjungi orang, meningkatnya angka kriminalitas, rendahnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk Jawa Barat, meningkatnya jumlah keluarga pra-sejahtera alias miskin, urbanisasi yg semakin memperuwet tata kehidupan perkotaan yg selalu macet, polusi parah, tidak teratur, pencemaran lingkungan darat, air, dan udara, serta sosial. Juga terlihat menurunnya rasa solidaritas sesama bangsa khususnya antara yg sangat kaya yg tega menampilkan kemewahannya dengan kalangan miskin yg terlihat bertebaran di mana-mana, sambil ditingkahi oleh berseliwerannya mobil-mobil mewah. Rasa solidaritas ini terkait dengan ideologi kebangsaan yg menimbulkan rasa senasib-sepenanggungan sebagai satu bangsa. Ketegaan para elit politik misalnya tampil dengan pemborosan uang negara di tengah kondisi rakyat yg menderita karena krisis menunjukkan hilangnya ideologi ini dari dalam jiwa para elit tsb.. Sedangkan masalah keamanan, ketertiban, dan pertahanan, terkait dengan lemahnya moral aparat karena kesejahteraan yg di bawah standar, karena kurangnya rasa solidaritas dari para petingginya, minimnya anggaran, semakin beratnya tantangan tugas yg dihadapi karena semakin terbukanya hubungan antar negara, antar warga negara, dan ketegangan antar golongan yg sudah tidak ragu menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.

Berdasarkan analisis permasalahan di atas rasanya kita bisa sepakat bahwa pergantian gubernur Jawa Barat tahun 2003 ini harus merupakan suatu solusi politik: bahwa Gubernur baru nanti harus bisa mengatasi semua masalah di atas yg daftarnya masih kasar, belum rinci, dan belum menyeluruh. Jika tidak bisa, lebih baik jangan berambisi jadi Gubernur, agar rakyat tidak tambah menderita oleh segunung masalah tsb.

Ada peluang mengatasi masalah-masalah tadi jika sang Gubernur baru nanti mampu meraih dukungan, simpati, dan kecintaan rakyat Jawa Barat, sehingga mereka semua berpartisipasi secara aktif di segala bidang, tidak membiarkan gubernur bekerja sendirian. Tetapi peluang sebaliknya tampaknya lebih besar terjadi karena teori politik yg kita imani, yakini, dan percayai selama ini sejak merdeka 57 tahun yang lalu adalah: kekuasaan dan jabatan adalah prestise, gengsi, kehormatan, prestasi yg membanggakan sekaligus peluang yg sangat luas untuk mengumpulkan kekayaan pribadi, keluarga, dan golongan, kalau perlu sampai tujuh turunan. Demikian pula, kekuasaan dan jabatan harus dilestarikan semaksimal mungkin. Kalaupun periode yg dijatahkan sudah habis, minimal yg meneruskan adalah saudara, atau segolongan, separtai, dsb.dst.

Jika teori politiknya seperti di atas, kita sudah menyaksikan pergantian kepemimpinan sejak Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan sekarang Megawati belum pernah mewujudkan suatu solusi politik. Malah yg terjadi adalah sebaliknya, hanya memunculkan masalah politik baru. Bandingkan dengan Malaysia yg usia kemerdekaannya lebih muda, sudah jauh meninggalkan kita. Kita rupanya lebih senang bergumul dalam belitan masalah politik daripada solusinya. Makanya kemajuan yg kita raih dimundurkan lagi oleh kita sendiri.

Maka diperlukan suatu teori politik baru yg menjadi alternatif bagi yg sudah ada yg diharapkan bila diimani, dipercayai, dan diyakini, akan berbuah solusi politik. Teori ini saya sebut: Teori Politik Robbaniyah.


Teori Politik Robbaniyah

Setiap komunitas atau masyarakat di manapun dan kapanpun memiliki gejala yang serupa/mirip/hampir sama dalam hal selalu adanya dua unsur dalam struktur kehidupan sosial politiknya. Dua unsur tersebut adalah unsur elit yang terdiri atas segelintir individu yang dianggap memiliki "kualitas" kepemimpinan oleh unsur lainnya. "Kualitas" ini terjadi bisa karena individu tsb aktif dalam urusan-urusan orang banyak, aktif dalam partai politik, bisa juga karena ia turunan ningrat/bangsawan/pemimpin/elit sebelumnya, atau hasil pendekatan/menjilat kepada atasannya, atau kualitas intelektualnya, atau berbagai sebab lainnya. Sedangkan unsur pasangannya adalah kaum massa, yang menjadi obyek dari perilaku para elitnya. Massa di sini adalah siapa saja yg bukan termasuk para elit, dan jumlahnya selalu lebih banyak(mayoritas) dibanding elit. Mereka tidak memiliki sifat-sifat elit di atas sehingga tergabung menjadi massa.

Al-Qur'an menyebut istilah elit dengan kata-kata:al-mala'u(pemuka suatu kaum), atau kubaro(para pembesar), atau orang-orang yg diikuti, atau orang-orang sombong(mustakbirin). Sedangkan massa disebut dengan kata: para pengikut atau lawan dari mustakbirin yaitu mustadh'afiin(kaum yg lemah).

Dalam proses kehidupan sosialnya, setiap komunitas/masyarakat selalu memiliki mekanisme tersendiri untuk memproduksi para elit dari basis massa. Artinya di dalam massa selalu muncul bibit-bibit elit yg kemudian betul-betul menjadi elit untuk meneruskan kepemimpinan elit atas masyarakat tsb. Sebab para elit sebelumnya pasti menjadi tua dan mati atau tewas dalam peperangan, atau berbagai sebab lainnya.

Allah swt menegaskan bagaimana kehendakNya pasti terjadi atas manusia dalam kehidupan sosial-politik suatu masyarakat/komunitas, apakah dalam lingkup suatu bangsa/nasional, atau suatu propinsi, atau kabupaten/kota, atau bahkan dalam lingkup internasional.

KehendakNya itu Dia nyatakan dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 26 sbb: Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yg Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yg Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yg Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yg Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu".

Berdasarkan ayat tsb maka setiap manusia tergolong menjadi empat golongan dengan mengacu kepada dua dimensi, yakni dimensi hablumminallah (hubungan dengan Allah) yg merupakan dimensi vertikal, dan dimensi horizontal berupa hablumminannaas(hubungan dengan sesama manusia).

Golongan I : Hablumminallahnya: dimuliakan oleh Allah swt. Hablumminannaasnya: diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tergolong ke dalam para elit dari masyarakat/komunitasnya. Golongan ini merupakan manusia ideal dan dambaan bagi massa yg akan mampu membawa seluruh anggota masyarakatnya (elit+massa) kepada kesejahteraan lahir-bathin, dunia-akhirat. Contoh nyatanya adalah para nabi dan rasul serta para pewaris hasil pembinaan para nabi dan rasul itu, serta tokoh-tokoh pemimpin masa sesudahnya yg benar-benar sepenuh hati mengadopsi pelajaran-pelajaran kepemimpinan para nabi dan rasul. Mereka mendapat status kemuliaan di sisi Allah swt selagi hidup di dunia ini karena dua hal: Cara mencapai kekuasaannya adalah sesuai dengan ajaran Allah swt dan menjalankan amanah kepemimpinannya dengan ikhlash dan sebaik-baiknya, betul-betul demi rakyatnya. Baginya amanah itu harus dijalankan secara adil, transparan, dan bertanggungjawab baik kepada Allah swt maupun kepada rakyat itu sendiri. Bagi dia, rakyat harus dididik sedemikian rupa agar pandai mengontrol dirinya yg dengan kontrol itu dia berharap selamat di hadapan Allah swt ketika mempertanggungjawabkan amanahnya. Dia tidak mungkin mau membiarkan rakyatnya bodoh sehingga mudah ditipu olehnya.

Contoh konkrit golongan I ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau mewarisi jabatan khalifah sebelumnya yg bobrok, dilanda kelemahan mental berupa kkn, kehidupan rakyat yg miskin, kekeringan merata di seluruh negeri, minimnya kas negara. Namun tanpa berapologi dan mengeluhkan kebobrokan khalifah sebelumnya, beliau langsung menyumbangkan kekayaannya untuk menambah kas negara, memilih hidup sederhana, mengajak rakyatnya bertaqorrub dan bertaubat kepada Allah swt, bekerja keras demi rakyat, berkorban waktu, tenaga, pikiran, harta untuk rakyatnya. Hasilnya, krisis multidimensi yg begitu parah sebelumnya-alhamdulillah-selesai dalam kurang dari dua tahun, semua rakyatnya menjadi muzakki sampai kebingungan kemana mencari mustahik zakat. Beliau dicintai rakyat dan mencintai rakyat, maka kerja keras beliau diimbangi partisipasi seluruh rakyat yg kompak, betul-betul bergotong-royong dalam makna yg sesungguhnya.
Golongan II: Hablumminallahnya : dihinakan oleh Allah swt dalam kehidupan di dunia, terlebih lagi nanti di akhirat, meskipun di hadapan manusia dirinya bisa jadi sangat disanjung dan dipuja saking terhormat dan mulianya. Sedangkan hablumminannaasnya dia diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tergolong elit. Bila seseorang menggapai jabatan dengan cara-cara yg curang, penuh tipu-daya, sikut kiri-kanan, main fitnah lawan/pesaing politiknya, menyuap para pemilih dengan "uang politik", dan berbagai cara kotor lainnya, dapat dipastikan dia tidak akan menjalankan amanah jabatannya dengan sebaik-baiknya demi rakyatnya. Maka dengan dua alasan yg berlawanan dengan ciri golongan I inilah dia berhak mendapat kehinaan dari Allah swt. Jika dia tidak taubat sebelum mati, pengadilan akhirat sudah pasti memvonisnya dengan kehinaan yg lebih dahsyat lagi yg tidak terbayangkan sebelumnya oleh siapapun. Bagi orang seperti ini, kebodohan rakyat, khususnya dalam hal kesadaran politik adalah sesuatu yg harus dilestarikan agar bisa dia tipu terus menerus, lalu dia bertindak menurutkan hawa nafsunya saja menikmati penghormatan orang, fasilitas negara, uang rakyat selalu dikorupsi, kalau perlu sampai tujuh turunan baru habis. Dia selalu tampil di depan massa dengan kepura-puraan seolah dialah pemimpin yg paling mencintai rakyat, dan rakyatnya hanya manggut-manggut dan terpesona karena kebodohannya. Apalagi ketika rakyat diberi uang, sumbangan, fasilitas ala kadarnya, maka merekapun memuji sang pejabat ini, padahal hak rakyat yg dimakan oleh pejabat ini jauh lebih banyak daripada yg sewajarnya dia terima.

Golongan III: Hablumminallahnya : dimuliakan oleh Allah swt. Sedangkan hablumminannaasnya : tidak diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tidak masuk kelas para elit. Dia hanyalah orang kebanyakan atau massa saja. namun dia mulia di sisi Allah swt karena menjalani hidupnya dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Dia jujur, selalu berbuat baik kepada siapa saja, suka menolong orang lain, tidak pernah berpikir mencelakai orang lain. Dia menjalani hidupnya dengan meneladani Rasulullah, Muhammad saw. Maka dia sangat mulia di sisi Allah swt dalam kehidupan di dunia ini terlebih lagi di akhirat nanti. Boleh jadi dia dipandang hina oleh manusia, meskipun dia jujur dan akhlaknya baik, sebab dia tidak bisa diajak korupsi oleh lingkungan di mana korupsi sudah menjadi budaya. Namun dia tetap tegar karena sandaran hidupnya adalah Allah swt yg Maha Mulia dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu, sehingga segala gangguan manusia sangat kecil baginya. Dialah rakyat yg ideal, yg memiliki kesadaran politik tinggi karena berilmu, yg dengan bekal itu dia bisa memisahkan mana elit yg layak didukung dan mana yg wajib diabaikan dan dijauhi dan kalau perlu diturunkan dari posisinya. Dia pasti hanya mendukung elit golongan I dan menolak dengan tegas elit golongan II. Meskipun elit golongan II tampil dengan "kemasan" yg memukau, dia tidak akan bisa ditipu.

Golongan IV: Hablumminallahnya: dihinakan oleh Allah swt. sedangkan hablumminannaasnya : tidak diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tidak masuk ke dalam kalangan elit. Dia adalah rakyat biasa, namun kehidupannya diselimuti kehinaan di dunia dan kalau tidak taubat sebelum matinya akan lebih hina lagi nanti di akhirat. Merekalah orang-orang yg tidak mau beragama (baca: berislam) dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. Mereka menyukai maksiat, menyukai para elit golongan II yg "membimbing" mereka kepada kehidupan yg fatamorgana, yang melenakan dan membuai sehingga mudah diombang-ambingkan ke sana ke mari. Hidup mereka dipenuhi kemiskinan, kebodohan, namun kesenangan syahwat berupa hiburan siang dan malam. Mereka tidak mau tahu bagaimana memilih elit pemimpin yg benar, karena yg penting buat mereka adalah bisa makan, bisa minum, bisa melampiaskan nafsu seksnya, bisa gembira, bisa berpakaian, bisa berteduh di rumah, meskipun seadanya, meskipun para elit mengkorupsi hak-hak mereka. Mereka tidak akan peduli, selama semua kebutuhan hidup terpenuhi dengan harga terjangkau. Mereka baru marah kalau semua harga sudah mencekik leher. Namun solusi politiknya akan kembali berputar di sekitar perebutan kebutuhan perut, seks, dan harta dan jabatan, tidak pernah menjangkau tinggi kepada kebutuhan terhadap ridho Allah swt.

Dalam rangka memilih gubernur yg akan memimpin Jawa Barat selama periode 2003-2008, semua elemen masyarakat Jawa Barat bebas memilih mau menjadi golongan yg mana di antara keempat golongan dalam teori Politik Robbaniyah di atas. Tentunya kalau ingin terpilihnya gubernur yg baru nanti merupakan solusi politik, maka gubernurnya harus dipilih yg sesuai dengan golongan I. Sayangnya, mereka yg akan memilih gubernur golongan I hanyalah massa golongan III, sedangkan dalam pemilihan gubernur Jawa Barat kali ini massa tidak berhak memilih. Yang akan menentukan adalah 100 orang anggota DPRD Jawa Barat yg tergolong elit juga. Kecuali massa golongan III ini dengan jumlah yg cukup signifikan bisa menekan 100 anggota DPRD agar mengarahkan pilihan ke golongan I. Jika itu bisa terjadi, semua kita patut bersyukur, insyaAllah masa depan Jawa Barat akan cerah, akan bisa mewujudkan visi dan misi 2010nya dengan lancar. Amin.

Bandung, 24 Januari 2003.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

cukup bagus sebagai ungkapan dari pencerahan diri pada 20 tahun silam

Bisnis Rumahan mengatakan...

Iman itu adalah Al iimaanu 'aqdun bil qolbi wa ikraarun bil lisani wa 'amalu bil
arkan.
Artinya : Iman adalah tanggapan hati (proses menanggapi)/keyakinan didalam hati kemudian
dinyatakan dalam lisan (proses pernyataan diri/sikap) dan menjelma
kedalam seluruh laku perbuatan (proses pembuktian dalam hidup). Atau
dengan kata lain Iman adalah tambatan hati yang menggema ke dalam
seluruh ucapan dan laku perbuatan.

Reza Nasrullah mengatakan...

Andri, dan Lucky, terima kasih atas komentarnya. Semoga relevansi tulisan di blog ini masih terasa sampai sekarang, karena tampaknya sikon yang ada tidak semakin baik, melainkan malah semakin parah. na'uudzubillaahi min dzaalik.

Reza Nasrullah mengatakan...

Kegaduhan dunia persilatan lidah alias politik di republik Indonesia saat ini tahun 2018 tampaknya merupakan turunan dari teori di atas. Hampir semua orang telah kehilangan pelita yg menyinari langlahlan dalam gelap-gulitanya perpolitikan yg hina.